Dalam pesta demokrasi, ruang kebebasan memang
terbuka lebar. Tapi ada yang patut disayangkan, bahwa ruang kebebasan sering
dipakai dan diperalat untuk maksud-maksud yang tidak baik. Mulai dari isu SARA dan
“Black Campaign” sampai kepada curi start dan politik uang. Mulai dari berbicara
tentang sikap sampai kepada saling sikut antar pendukung. Segala hal dihalalkan,
asal tujuan tercapai. Kekuasaan memang dari sejak jamannya Firaun sampai saat
ini daya tariknya bagaikan magnet. Bukankah sangat tidak nyaman untuk
berdiri dari kursi kenyamanan yang sudah begitu lama diduduki misalnya, dan
atau tiadanya kerelaan untuk meninggalkan ‘sesuatu yang sebenarnya tidak abadi’
itu dengan lapang dada umpamanya. Artinya, kemenangan mesti diraih / dipertahankan dengan
jalan apapun, dengan cara bagaimanapun, serta dengan taruhan sebesar apapun.
Hal yang diutamakan dan terpenting selalu saja adalah bagaimana meraih atau
mempertahankan kemenangan. Itu saja dulu. Terhormat atau tidak terhormat cara
yang dipakai adalah urusan ke sekian. Itu cerita lain.
Sebagai contoh, mari kita melihat dan menganalisa
kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama dan kedua dari perspektif berbeda.
Paradigma yang dipakai selama ini dalam menilai serta melihat kemenangan
Jokowi-Ahok adalah dari segi kedekatan mereka pada rakyat. Tidak salah memang.
Itu tentu saja adalah salah satu penyebab kemenangan mereka pada putaran
I
dan II. Tapi kemenangan mereka tidak serta merta karena itu saja, tapi
lebih kompleks. Sederhana tapi kompleks. Artinya begini, kalau hanya
berdasarkan kedekatan pada rakyat, bukan jaminan mutlak mereka dapat meraih
suara begitu signifikan pada putaran pertama dan kedua yang lalu. Ada yang
diterapkan oleh pasangan Jokowi-Ahok, yang secara konsekuen dan
teliti, serta penuh perhitungan matang. Apa itu? Mereka menjalankan prinsip
marketing sosial (social marketing) secara tepat guna dan tepat sasaran
terus menerus.
Strategi Marketing
Sosial
Marketing social (social marketing) pada
dasarnya adalah merupakan aplikasi strategi pemasaran komersil untuk “menjual”
gagasan dalam rangka mengubah sebuah masyarakat. Inilah landasan utama dan
titik tolak mereka. Yaitu bagaimana merubah pandangan sebuah masyarakat yang
sudah lama terkukung dan terbelenggu oleh status quo. Masyarakat
yang sudah terpidana oleh janji-janji kosong yang akhirnya membuat mereka
menjadi begitu “muak” dan “antipasti” terhadap yang namanya Penguasa dan Pemimpin Bangsa. Tidak pernah ada
figur yang dapat mereka cintai dengan tulus karena melihat karya nyata serta
kebersamaannya dengan rakyat. Pemimpin yang mampu merasakan apa yang mereka
rasakan. Pemimpin yang mampu mendobrak “pakem-pakem” kaku yang sudah lama membuat jurang pemisah,
dan tembok pembatas yang begitu kentara antara pejabat dan rakyat biasa.
Jokowi-Ahok sigap dan jeli melihat realitas tersebut.
Mereka menjual gagasan untuk mengubah pola pikir
masyarakat yang selama ini hilang kepercayaan terhadap pejabat dan penguasa.
Mereka menjual gagasan, konsep, program, serta visi dan misi. Tapi mereka tidak
menawarkan ‘produk isapan jempol’. Mereka menjual apa yang sudah pernah
mereka raih dan lakukan. Rakyat ingin melihat karya nyata. Rakyat membutuhkan
bukti. Dan apa yang dilihat masyarakat dari figur Jokowi-Ahok, belum ditemukan
(atau tidak ditemukan) dari calon lainnya, termasuk mungkin siapa-siapa yang
sudah pernah “menipu” mereka dengan obralan janji-janji kosong tapi
tak pernah mau dan mampu direalisasikan..
Lantas apa strategi Jokowi-Ahok lainnya? Jokowi-Ahok
benar-benar menerapkan ayat-ayat social marketing secara tepat
dan penuh keteguhan prinsip Strategi social marketing selanjutnya
adalah apa yang kita kenal sebagai 9 Elemen dalam Pemasaran, yaitu :
1.
Segmentasi Pasar,
2.
Target,
3.
Positioning,
4.
Diferensiasi,
5.
Marketing mix,
6.
Selling,
7.
Brand,
8.
Service,
dan
9.
Process.
Mereka mampu memilih dan
memilah segementasi pasar sasaran, yang mereka dekati bukan orang-orang kaya, penguasa berduit,
sebab berapa sih jumlah mereka di Jakarta? Jokowi-Ahok turun
ke kampung-kampung, pasar-pasar, ke bantaran sungai. Di sanalah lumbung-lumbung
suara paling banyak.
Bagaimana dengan target ? Oh, itu sudah pasti.
Mereka memiliki target jelas, dan target itu diperjuangkan secara tulus. Target
kemenangan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Mereka juga mampu memposisikan
diri sebaik-baiknya. Mereka memposisikan diri sebagain bagian dari rakyat,
bukan membuat jurang pemisah. Posisi itu mereka pelihara secara tegas. Posisi
melawan status quo dan pakem kuno juga terus dipertahankan
mereka. Kelas menengah ke atas juga mengakui keberadaan mereka, para akademisi
dari berbagai universitas pun tak segan memberikan mendukung.
Kalau masalah branding jangan
ditanya lagi. Branding yang dibangun mereka dilakoni tanpa main-main.
Kesederhanaan dan dekat dengan rakyat adalah brand utama mereka, tak lupa
dipadukan pula dengan brand kemeja kotak-kotak untuk lebih menempelkan sugesti
positif ke setiap pendukung mereka. Itu luar biasa sekali, memadukan
kesederhanaan, kebersahajaan, yang saya sebut sifat atau karakter, dengan
produk kemeja kotak-kotak. Yang tangibledipadukan dengan yang intangible.
Hasilnya? Fantastis, siapa yang tak bakalan bilang bahwa kemeja kotak-kotak itu
identik dengan Jokowi-Ahok? Siapa pula yang tak menyutujui bahwa Jokowi-Ahok
itu identik dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan kemeja kotak-kotak
laku keras di beberapa kota di Provinsi lain. Bayangkan, mereka kampanye di
Jakarta tapi imbasnya nyampe ke kota-kota lain di luar
Jakarta.
Mengenai service juga sudah
jelas. Motif kerja mereka adalah untuk melayani. Pemimpin itu sesungguhnya
adalah pelayan rakyat. Makanya, tugas di kantor hanyalah 10-20%, sisanya yang
80-90% haruslah di lapangan. Sebab di sanalah pusatnya berbagai masalah. Lalu
bagaimana dengan proses? Oh iya, Anda juga bisa lihat sendiri
bagaimana mereka berusaha menjaga proses pemilihan sejak dari awal, sampai ke
tangga terakhir perjuangan menuju DKI I tanpa Black Campaign, tanpa memperalat SARA,
dan tanpa politik uang. Proses mesti dijaga, dikawal, dan diawasi. Kalau proses
meraih kemenangan saja sudah dimulai dengan kecurangan, itu alamat jelas
kekuasaan kemudian akan dipakai bukan untuk rakyat, tapi untuk membuncitkan perut
dan kantong sendiri.
Pakar pemasaran Hermawan Kertajaya pernah
mengatakan bahwa marketing sebenarnya adalah sesuatu yang sederhana. Ia
mengumpamakannya sebagai seni “menjual” diri (self selling). Selain
menjual produk kita mesti mampu menjual diri. Artinya, orang akan tertarik
bukan hanya kepada isinya tapi bungkusnya juga. Kalau kedua-duanya disukai,
pasti produk yang ditawarkan akan laku keras. Begitu juga dalam
kampanye-kampanye. Percaya saja, ini semua masuk akal. Walaupun kita memiliki
program sebagus dan seindah ‘sorga’ tapi kalau kita orangnya arogan, egois,
tidak mau dekat dengan rakyat…..tidak membumi, ya siapa yang mau pilih? Makanya
saya kurang setuju kalau ada yang bilang bahwa jangan lihat kemasan tapi
isinya. Kemasan dan isi sama pentingnya!
Dalam dunia bisnis masa kini, terlihat jelas
sudah mulai adanya pergeseran nilai. Kini dunia bisnis memandang betapa penting
mengedepankan nilai-nilai sosial (social values) itu. Lihat
saja perusahaan-perusahaan besar selalu saja menonjolkan berbagai program CSR (Corporate
Social Responsibility) mereka. Nilai-nilai sosial dan kemanusiaan tak
lagi dipandang sebagai ‘barang tiada nilai’, tapi sebaliknya tanggung jawab
penuh kita adalah kepada kemanusiaan. Jokowi-Ahok mengusung fundamental
perjuangan yang sama, saya sebut sebagai OSR (Official Social
Responsibility) atau tanggungjawab sosial pejabat. Hal ini penting.
Karena mewujudkannya adalah merupakan tantangan tersendiri bagi para pejabat.
Dan lagi, tentu ini sangat selaras dengan perjuangan Pancasila Sila ke Lima:
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mantap bukan?
Mind, Heart, dan Spirit
Marketing memang sudah seharusnya tidak lagi
dipandang hanya sebagai sebuah alat atau seolah-olah hanyalah sebagian kecil
dari anggota tubuh kita. Marketing mesti dilihat sebagai sebuah keseluruhan (the
whole), sesuatu yang menyeluruh dan komprehensif. Menurut Hermawan
Kertajaya, di masa kini visi, misi dan nilai-nilai organisasi tidak hanya
melibatkan intelektualitas (mind) dan hati (heart), melainkan
juga roh (spirit). Bukankah Jokowi-Ahok tidak hanya
pintar secara konseptual serta dalam menjabarkan program. Mereka juga bukan
hanya memiliki hati yang melayani, dekat dengan rakyat dan sebagainya itu.
Point ke tiga darimarketing as a whole juga mereka punyai, yaitu
memiliki spirit yang membangun, atau roh ketekunan dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial tadi. Makanya ada pendekatan luar biasa yang sering mereka
ungkapkan, contohnya intervensi sosial, yaitu sebuah intervensi tanpa
kekerasan. Hal itu sungguh luar biasa. Mudah-mudahan mereka memang benar-benar
menjadi pemimpin yang dianugerahkan Tuhan untuk Jakarta.
Sesungguhnya masih ada begitu banyak
prinsip-prinsip pemasaran sosial yang mereka pakai dan terapkan secara konkrit.
Tapi ruang dan waktulah yang membatasi saya mengurainya panjang lebar. Tapi apa
yang terpaparkan rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk melihat bagaimana
mereka memakai prinsip ekonomi khususnya social marketing di
ranah politik. And it seems they’re having a very good result out of
it. Apakah ini akan berlanjut pada putaran ke dua? Sangat mungkin.
Tapi mereka tetap harus mewaspadia ‘pihak lawan’ yang bisa saja mencuri start
dengan menyontek strategi social marketing yang sudak terbukti
jitu itu. Apapun bisa ditiru dan diterapkan pihak lawan, tapi yang tidak bisa
dicuri dari Jokowi-Ahok adalah ‘isi’ dari Mind, Heart,
dan Spirit milik mereka. Dan rakyat sudah tahu betul,
seperti apa sebenarnya M H S punya mereka itu.
Menutup tulisan ini, saya mengajak Anda menyimak
kata-kata bijak dari dua pakar pemasaran berikut ini:
“Saya melihat salah satu
hambatan teman-teman dari organisasi nirlaba, adalah arogan bahwa dirinya
paling tahu permasalahan. Padahal untuk bisa mengkomunikasikan gagasan untuk
menyelesaikan masalah publik, mereka harus melakukan konsultasi publik dan
lainnya. Dengan membuka diri pasti lebih banyak yang bisa didapat organisasi
untuk merancang langkah-langkah social marketing”. — (Effendi Ghazali, Ph.D.)
[Konteksnya dalam dunia
politik]….Jangan arogan dan angkuh,
jangan merasa diri paling ahli dan paling tahu permasalahannya sehingga yang
lain disumbal mulutnya, jangan pula merasa diri sendiri adalah yang paling
benar. Tapi seharusnya bagaimana? Ya, betul sekali ! Komunikasikan
gagasan-gagasan Anda, berbicara langsung dengan publik (rakyat) cari tahu
apa-apa permasalahan yang mesti dibenahi, dan jangan segan untuk membuka diri
serta pintu rumah Anda untuk rakyat…
“Dalam menentukan
segmentasi jangan hanya terpatok kepada demografi, jadi hanya orang kaya saja
yang menjadi penyumbang. Penguasaan psikografi prilaku sangat penting, karena
potensi dana bisa jadi berasal dari orang-orang yang memiliki latar belakang
pengalaman yang akan tersentuh dengan gagasan organisasi nirlaba. Untuk
“menjual” gagasan, angkatlah isu yang menyangkut universal value, misalnya kemanusiaan dan lain-lain” – (Hermawan Kertajaya –
Pakar Marketing).
[Konteksnya dalam dunia
politik]…Jangan hanya mendekati mereka yang kaya raya, yang
punya segudang uang, yang punya jabatan, dan yang
punya kelas. Penguasaan psikografi prilaku sangatlah penting,
karena potensi suara pemilih bisa jadi adalah dari orang-orang yang dianggap
remeh dan kacangan. Untuk menjual gagasan penting sekali mengangkat isu yang
bernilai universal. Dapat diterima oleh semua (bukan SARA), misalnya bagaimana
mengentaskan orang miskin, tentang kemanusiaan dan semua yang bersentuhan
langsung dengan rakyat kecil. Contoh paling sederhana, pembangunan jalan tol
tidak akan memengaruhi orang miskin yang tidak punya mobil, ada seribu jalan
tol pun mereka akan cuek bebek, tidak akan terkesan. Tapi menambah
armada Transjakarta atau membuat angkutan umum semisal monorel, itu baru kena
di mereka. Makanya jangan heran orang-orang bawah ini nggak memilih
yang programnya mau bikin jalan tol, tapi mereka memilih yang programnya
langsung akan terasa imbasnya oleh mereka.
Just Pinasticyber Multimedia
(Sumber : Kompasiana)