Minggu, 07 Oktober 2012

AYAT-AYAT Marketing Sosial saat ber-Kampanye


Dalam pesta demokrasi, ruang kebebasan memang terbuka lebar. Tapi ada yang patut disayangkan, bahwa ruang kebebasan sering dipakai dan diperalat untuk maksud-maksud yang tidak baik. Mulai dari isu SARA dan “Black Campaign” sampai kepada curi start dan politik uang. Mulai dari berbicara tentang sikap sampai kepada saling sikut antar pendukung. Segala hal dihalalkan, asal tujuan tercapai. Kekuasaan memang dari sejak jamannya Firaun sampai saat ini daya tariknya bagaikan magnet. Bukankah sangat tidak nyaman untuk berdiri dari kursi kenyamanan yang sudah begitu lama diduduki misalnya, dan atau tiadanya kerelaan untuk meninggalkan ‘sesuatu yang sebenarnya tidak abadi’ itu dengan lapang dada umpamanya. Artinya, kemenangan mesti diraih / dipertahankan dengan jalan apapun, dengan cara bagaimanapun, serta dengan taruhan sebesar apapun. Hal yang diutamakan dan terpenting selalu saja adalah bagaimana meraih atau mempertahankan kemenangan. Itu saja dulu. Terhormat atau tidak terhormat cara yang dipakai adalah urusan ke sekian. Itu cerita lain.
Sebagai contoh, mari kita melihat dan menganalisa kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama dan kedua dari perspektif berbeda. Paradigma yang dipakai selama ini dalam menilai serta melihat kemenangan Jokowi-Ahok adalah dari segi kedekatan mereka pada rakyat. Tidak salah memang. Itu tentu saja adalah salah satu penyebab kemenangan mereka pada putaran I dan II. Tapi kemenangan mereka tidak serta merta karena itu saja, tapi lebih kompleks. Sederhana tapi kompleks. Artinya begini, kalau hanya berdasarkan kedekatan pada rakyat, bukan jaminan mutlak mereka dapat meraih suara begitu signifikan pada putaran pertama dan kedua yang lalu. Ada yang diterapkan oleh pasangan Jokowi-Ahok, yang secara konsekuen dan teliti, serta penuh perhitungan matang. Apa itu? Mereka menjalankan prinsip marketing sosial (social marketing) secara tepat guna dan tepat sasaran terus menerus.

Strategi Marketing Sosial
Marketing social (social marketing) pada dasarnya adalah merupakan aplikasi strategi pemasaran komersil untuk “menjual” gagasan dalam rangka mengubah sebuah masyarakat. Inilah landasan utama dan titik tolak mereka. Yaitu bagaimana merubah pandangan sebuah masyarakat yang sudah lama terkukung dan terbelenggu oleh status quo. Masyarakat yang sudah terpidana oleh janji-janji kosong yang akhirnya membuat mereka menjadi begitu muak dan antipasti terhadap yang namanya Penguasa dan Pemimpin Bangsa. Tidak pernah ada figur yang dapat mereka cintai dengan tulus karena melihat karya nyata serta kebersamaannya dengan rakyat. Pemimpin yang mampu merasakan apa yang mereka rasakan. Pemimpin yang mampu mendobrak pakem-pakem kaku yang sudah lama membuat jurang pemisah, dan tembok pembatas yang begitu kentara antara pejabat dan rakyat biasa. Jokowi-Ahok sigap dan jeli melihat realitas tersebut.
Mereka menjual gagasan untuk mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini hilang kepercayaan terhadap pejabat dan penguasa. Mereka menjual gagasan, konsep, program, serta visi dan misi. Tapi mereka tidak menawarkan ‘produk isapan jempol’. Mereka menjual apa yang sudah pernah mereka raih dan lakukan. Rakyat ingin melihat karya nyata. Rakyat membutuhkan bukti. Dan apa yang dilihat masyarakat dari figur Jokowi-Ahok, belum ditemukan (atau tidak ditemukan) dari calon lainnya, termasuk mungkin siapa-siapa yang sudah pernah menipu mereka dengan obralan janji-janji kosong tapi tak pernah mau dan mampu direalisasikan..
Lantas apa strategi Jokowi-Ahok lainnya? Jokowi-Ahok benar-benar menerapkan ayat-ayat social marketing secara tepat dan penuh keteguhan prinsip Strategi social marketing selanjutnya adalah apa yang kita kenal sebagai 9 Elemen dalam Pemasaran, yaitu :
1. Segmentasi Pasar,
2. Target,
3. Positioning,
4. Diferensiasi,
5. Marketing mix,
6. Selling,
7. Brand,
8. Service, dan
9. Process.

Mereka mampu memilih dan memilah segementasi pasar sasaran, yang mereka dekati bukan orang-orang kaya, penguasa berduit, sebab berapa sih jumlah mereka di Jakarta? Jokowi-Ahok turun ke kampung-kampung, pasar-pasar, ke bantaran sungai. Di sanalah lumbung-lumbung suara paling banyak.
Bagaimana dengan target ? Oh, itu sudah pasti. Mereka memiliki target jelas, dan target itu diperjuangkan secara tulus. Target kemenangan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Mereka juga mampu memposisikan diri sebaik-baiknya. Mereka memposisikan diri sebagain bagian dari rakyat, bukan membuat jurang pemisah. Posisi itu mereka pelihara secara tegas. Posisi melawan status quo dan pakem kuno juga terus dipertahankan mereka. Kelas menengah ke atas juga mengakui keberadaan mereka, para akademisi dari berbagai universitas pun tak segan memberikan mendukung.
Kalau masalah branding jangan ditanya lagi. Branding yang dibangun mereka dilakoni tanpa main-main. Kesederhanaan dan dekat dengan rakyat adalah brand utama mereka, tak lupa dipadukan pula dengan brand kemeja kotak-kotak untuk lebih menempelkan sugesti positif ke setiap pendukung mereka. Itu luar biasa sekali, memadukan kesederhanaan, kebersahajaan, yang saya sebut sifat atau karakter, dengan produk kemeja kotak-kotak. Yang tangibledipadukan dengan yang intangible. Hasilnya? Fantastis, siapa yang tak bakalan bilang bahwa kemeja kotak-kotak itu identik dengan Jokowi-Ahok? Siapa pula yang tak menyutujui bahwa Jokowi-Ahok itu identik dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan kemeja kotak-kotak laku keras di beberapa kota di Provinsi lain. Bayangkan, mereka kampanye di Jakarta tapi imbasnya nyampe ke kota-kota lain di luar Jakarta.
Mengenai service juga sudah jelas. Motif kerja mereka adalah untuk melayani. Pemimpin itu sesungguhnya adalah pelayan rakyat. Makanya, tugas di kantor hanyalah 10-20%, sisanya yang 80-90% haruslah di lapangan. Sebab di sanalah pusatnya berbagai masalah. Lalu bagaimana dengan proses? Oh iya, Anda juga bisa lihat sendiri bagaimana mereka berusaha menjaga proses pemilihan sejak dari awal, sampai ke tangga terakhir perjuangan menuju DKI I tanpa Black Campaign, tanpa memperalat SARA, dan tanpa politik uang. Proses mesti dijaga, dikawal, dan diawasi. Kalau proses meraih kemenangan saja sudah dimulai dengan kecurangan, itu alamat jelas kekuasaan kemudian akan dipakai bukan untuk rakyat, tapi untuk membuncitkan perut dan kantong sendiri.
Pakar pemasaran Hermawan Kertajaya pernah mengatakan bahwa marketing sebenarnya adalah sesuatu yang sederhana. Ia mengumpamakannya sebagai seni “menjual” diri (self selling). Selain menjual produk kita mesti mampu menjual diri. Artinya, orang akan tertarik bukan hanya kepada isinya tapi bungkusnya juga. Kalau kedua-duanya disukai, pasti produk yang ditawarkan akan laku keras. Begitu juga dalam kampanye-kampanye. Percaya saja, ini semua masuk akal. Walaupun kita memiliki program sebagus dan seindah ‘sorga’ tapi kalau kita orangnya arogan, egois, tidak mau dekat dengan rakyat…..tidak membumi, ya siapa yang mau pilih? Makanya saya kurang setuju kalau ada yang bilang bahwa jangan lihat kemasan tapi isinya. Kemasan dan isi sama pentingnya!
Dalam dunia bisnis masa kini, terlihat jelas sudah mulai adanya pergeseran nilai. Kini dunia bisnis memandang betapa penting mengedepankan nilai-nilai sosial (social values) itu. Lihat saja perusahaan-perusahaan besar selalu saja menonjolkan berbagai program CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Nilai-nilai sosial dan kemanusiaan tak lagi dipandang sebagai ‘barang tiada nilai’, tapi sebaliknya tanggung jawab penuh kita adalah kepada kemanusiaan. Jokowi-Ahok mengusung fundamental perjuangan yang sama, saya sebut sebagai OSR (Official Social Responsibility) atau tanggungjawab sosial pejabat. Hal ini penting. Karena mewujudkannya adalah merupakan tantangan tersendiri bagi para pejabat. Dan lagi, tentu ini sangat selaras dengan perjuangan Pancasila Sila ke Lima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mantap bukan?

Mind, Heart, dan Spirit
Marketing memang sudah seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah alat atau seolah-olah hanyalah sebagian kecil dari anggota tubuh kita. Marketing mesti dilihat sebagai sebuah keseluruhan (the whole), sesuatu yang menyeluruh dan komprehensif. Menurut Hermawan Kertajaya, di masa kini visi, misi dan nilai-nilai organisasi tidak hanya melibatkan intelektualitas (mind) dan hati (heart), melainkan juga roh (spirit). Bukankah Jokowi-Ahok tidak hanya pintar secara konseptual serta dalam menjabarkan program. Mereka juga bukan hanya memiliki hati yang melayani, dekat dengan rakyat dan sebagainya itu. Point ke tiga darimarketing as a whole juga mereka punyai, yaitu memiliki spirit yang membangun, atau roh ketekunan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial tadi. Makanya ada pendekatan luar biasa yang sering mereka ungkapkan, contohnya intervensi sosial, yaitu sebuah intervensi tanpa kekerasan. Hal itu sungguh luar biasa. Mudah-mudahan mereka memang benar-benar menjadi pemimpin yang dianugerahkan Tuhan untuk Jakarta.
Sesungguhnya masih ada begitu banyak prinsip-prinsip pemasaran sosial yang mereka pakai dan terapkan secara konkrit. Tapi ruang dan waktulah yang membatasi saya mengurainya panjang lebar. Tapi apa yang terpaparkan rasa-rasanya sudah lebih dari cukup untuk melihat bagaimana mereka memakai prinsip ekonomi khususnya social marketing di ranah politik. And it seems they’re having a very good result out of it. Apakah ini akan berlanjut pada putaran ke dua? Sangat mungkin. Tapi mereka tetap harus mewaspadia ‘pihak lawan’ yang bisa saja mencuri start dengan menyontek strategi social marketing yang sudak terbukti jitu itu. Apapun bisa ditiru dan diterapkan pihak lawan, tapi yang tidak bisa dicuri dari Jokowi-Ahok adalah ‘isi’ dari MindHeart, dan Spirit milik mereka. Dan rakyat sudah tahu betul, seperti apa sebenarnya M H S punya mereka itu.
Menutup tulisan ini, saya mengajak Anda menyimak kata-kata bijak dari dua pakar pemasaran berikut ini:

“Saya melihat salah satu hambatan teman-teman dari organisasi nirlaba, adalah arogan bahwa dirinya paling tahu permasalahan. Padahal untuk bisa mengkomunikasikan gagasan untuk menyelesaikan masalah publik, mereka harus melakukan konsultasi publik dan lainnya. Dengan membuka diri pasti lebih banyak yang bisa didapat organisasi untuk merancang langkah-langkah social marketing”. (Effendi Ghazali, Ph.D.)
[Konteksnya dalam dunia politik]….Jangan arogan dan angkuh, jangan merasa diri paling ahli dan paling tahu permasalahannya sehingga yang lain disumbal mulutnya, jangan pula merasa diri sendiri adalah yang paling benar. Tapi seharusnya bagaimana? Ya, betul sekali ! Komunikasikan gagasan-gagasan Anda, berbicara langsung dengan publik (rakyat) cari tahu apa-apa permasalahan yang mesti dibenahi, dan jangan segan untuk membuka diri serta pintu rumah Anda untuk rakyat…

“Dalam menentukan segmentasi jangan hanya terpatok kepada demografi, jadi hanya orang kaya saja yang menjadi penyumbang. Penguasaan psikografi prilaku sangat penting, karena potensi dana bisa jadi berasal dari orang-orang yang memiliki latar belakang pengalaman yang akan tersentuh dengan gagasan organisasi nirlaba. Untuk “menjual” gagasan, angkatlah isu yang menyangkut universal value, misalnya kemanusiaan dan lain-lain”(Hermawan Kertajaya – Pakar Marketing).
[Konteksnya dalam dunia politik]…Jangan hanya mendekati mereka yang kaya raya, yang punya segudang uang, yang punya jabatan, dan yang punya kelas. Penguasaan psikografi prilaku sangatlah penting, karena potensi suara pemilih bisa jadi adalah dari orang-orang yang dianggap remeh dan kacangan. Untuk menjual gagasan penting sekali mengangkat isu yang bernilai universal. Dapat diterima oleh semua (bukan SARA), misalnya bagaimana mengentaskan orang miskin, tentang kemanusiaan dan semua yang bersentuhan langsung dengan rakyat kecil. Contoh paling sederhana, pembangunan jalan tol tidak akan memengaruhi orang miskin yang tidak punya mobil, ada seribu jalan tol pun mereka akan cuek bebek, tidak akan terkesan. Tapi menambah armada Transjakarta atau membuat angkutan umum semisal monorel, itu baru kena di mereka. Makanya jangan heran orang-orang bawah ini nggak memilih yang programnya mau bikin jalan tol, tapi mereka memilih yang programnya langsung akan terasa imbasnya oleh mereka.

Just Pinasticyber Multimedia

(Sumber : Kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar